“Bismillahirrahmanirrahim”...Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang....
Saya bercerita kepada Engkau Tuhan pemilik Jiwa dan Raga ini....
Kondisi ini memang sangat tidak mengenakkanpada akhirnya. Saya berharap ini bukanlah jalan terakhir dari pencarian Saya. Awal mulanya hal ini saya anggap sebagai cobaan untuk melatih kesabaran dalam diri Saya dalam menyikapi segala persoalan. Tapi dalam rentan waktu yang sudah menghabiskan puluhan hari dan jutaan detik yang terbuang membawa Saya pada suatu titik perenungan terlemah dalam diri saya. Himpitan malu yang di tawarkan dunia dari berbagai penjuru mulai-mulai Saya rasakan (Terutama diri saya yang mulai krisis percaya diri yang hampir akan turun drastis) dalam waktu dekat-dekat ini. Banyak saran yang masuk di telinga dan saya cerna mungkin akan saya lakukan kelak, sampai-sampai masalah ibadah. Ibadah! Ini yang menguatkan mungkin, hingga Saya masih bisa bertahan sampai detik ini dalam kodisi keterpurukan mental. Tingkat ibadah Saya memang rendah, Saya jadi berfikir mungkin saja hal ini yang membuat Saya terjatuh sekali sekarang, karena Tuhan marah kepada Saya. Karena begitu banyaknya yang diberikan kepada Saya, hingga Saya sangat lupa untuk bersyukur kepadaNya.
Dalam pencarian, Saya menemukan mutiara impian yang sekiranya kelak Saya harapkan dapat berbuah manis keberhasilan di mana sekian ratus juta waktu yang Saya jalan sampai saat ini, tak terlepas dari sebuah mimpi yang berwujud cita-cita yang ingin Saya wujudkan. Tapi mengapa kembali Saya harus merasakan, kenapa harus menghadapi kendala-kendala yang dapat mematahkan percaya diri Saya dan semangat jiwa raga. Sebuah renungan panjang tak cukup untuk mengembalikan ini semua. Sebuah mimpi ini juga yang menguatkan Saya, dalam hati Saya berharap "Tuhan pintaku ini tolonglah kau kabulkan" itu saja. Soal-soal mimpi dan cita ini menyangkut pada sebuah tanggung jawab. Dengan mimpi, cita, dan cinta ini berhubungan. Karena pada awal kisahnya Saya menanamkan bibit cinta untuk tujuan yang akan nanti bermuara.
Harapan ini memebawa Saya untuk kuat bertahan di kala waktu yang tersisa antara Saya dengan Cinta hanya tinggal beberapa jengkal waktu saja. mimpi dan cita menguatkan Saya untuk dapat berpisah dengannya untuk dalam jangka waktu ribuan detik, bahkan milyaran sampai ratusan hari. Akan saya tempuh hari dengan berpisah jauh dengan orang yang selama ini sangat dekat dan sudah hafal denga tabiat buruk Saya begitupula dengannya Saya rasa sama. Kami sering berkelahi sampai deras air mata membanjiri sampai hati terendam oleh duka. Tapi mimpi, cita, dan cinta Saya kepadnya membuat saya harus dapat bertahan menghadapi situasi yang akan memakan jarak tak terhingga untuk berpisah dengannya. (dalam hati saya: saya menolak hal ini dengan keras, tapi belakangan tersadar akan situasi yang lebih indah nanti) Yang akan terjadi setelah sekian lama kami berpisah dan akan bertemu kembali pada situasi yang sangat bersejarah. Jika harus berkhayal lagi pasti saya akan terbuai sekali. Kenyataan lebih pahit dari pada khayalan. Karena ini adalah yang harus Saya hadapi dan Saya tak mau berkhayal karena khayalan menyisakan getir-getir yang memerlukan daya ekstra untuk mengartikannya, lebih baik Saya memilh untuk bermimpi.
Membuat langkah-langkah inovatif untuk kehidupan Saya. Mulanya, Saya berharap ini akan berhasil, karena segala strategi perang Saya sudah dipersiapkan bahkan perbekalan di otak saya sudah siap digunakan dan cukup lebih untuk membuat sesuatu yang spektakuler dan zuper. Tapi Saya ternyata mengalami hambatan yang terjadi karena mental-mental yang belum siap untuk mengucurkan keringatnya menjadi darah untuk merenggut mimpi dan citadari jajahan khayalan. Yang setiap malam menjadi igauan terbang bersama malam yang semakin larut. Apakah mungkin mimpi dapat terwujud hanya dengan sebuah igauan saja? Revolusi pemikiran saya mengatakan keras: TIDAK! Kita butuh sesuatu hal yang pasti, misalnya: sebuah terobosan yang spektakuler dari sebuah rangkaian tindakan kita yang akan menuju pada suatu realisai mimpi yang nyata. Tapi seketika itu pula Saya terbentur hal-hal yang menghadang dan membutakan langkah Saya tersebut. Teryata diri sayalah yang merasa tertiban oleh berjuta amunisi di kepala saya yang sudah siap dilucurkan sebenarnya. kaki-kaki saya belum siap menopang dengan tangguh, hingga mudah sekali saya goyah dan dilema. Mungkin harus pintar dan bijak lagi mencari rekan.
Dilema, ini adalah yang terjadi. Saya harus berbuat apa sekarang? Ibadah dan Doa tak cukup menurutku. Tapi Saya buta akan jalan yang harus Saya mulai lagi sekarang. Arahnya tertutup oleh amarah, sehingga hati Saya tak mampu membaca situasi yang terjadi di dalam diri Saya. Yang ada hanya: endapan emosi yang mulai menggerogoti setiap rongga-rongga dalam tubuh ini. Manusia tak ada yang sempurna dan tubuh ini mudah sekali cepat rapuh. Akhirnya bebuah ketakutan yang luar biasa menghantui dan menguasai.
Sekalilagi Tuhan tempat Saya mengadu. Berharap ada sebuah miracle yang terjadi dalam hidup Saya. Dan Saya pada saat ini ingin sekali berjalan sesuai dengan apa yang Saya harapkan. Berjalan di rel Saya. Menjadi diri Saya. Dan berhasil di jalan Saya. Tanpa harus Saya memaksan diri ke kondisi yang tidak sesuai dengan hati, nurani, dan pikiran Saya. Lagi-lagi saya menyebut "Tuhan, bantulah Saya" setiap kata itu Saya haturkan ke langit tempat Tuhan bersemayam. berharap kali ini dia mendengar dan mau mengabulkan pinta Saya. Untuk Cinta yang sebentar lagi akan meneruskan berlayarnya dan sementara waktu meninggalkan Saya di sini, meski di sini Saya memiliki banyak orang yang sayang dengan diri Saya, di sini penuh kehangatan. Tapi tetap separuh jiwa Sayalah yang akan membuat Saya merasa tetap sepi sendiri di sini apalagi ketika Aku takut akan ketakutanku itu nanti datang, Cinta tak ada di sisi. Entahlah? Tapi untuknya Saya akan buktikan saya kuat bertahan, kerena dia melihat Saya sebagai seorang contoh untuk hidupnya. kata ini lagi yang Saya ucapkan: "Tuhan, bantulah Saya!" dengan nada ritmis.
"Tuhan, tuliskan dalam diri dan jiwa Saya. Kemana Saya harus memulai langkah ini lagi, bertahankah dan bersabar demi mimpi yang sudah terbang terbawa angin yang akan bermuara atau Saya harus melakukan perubahan di luar kendali dan kemudi yang Saya miliki!"
Saya berharap Tuhan membaca ini.
Saya tulis ini di atas bumi Indonesia,
Jakarta 27 agustus 2011,
tepat menjelang di akhir bulan suci Ramadhan.
Bagus D. Prasetyo