Senin, 25 Mei 2009
Minggu, 24 Mei 2009
Sebuah tangis, sebuah luka
Banyak yang ku dengar
Dari radio tua milik ayah
Ada tangis kala itu
Ada luka saat itu
Sebelum kembali aku terbaring juga
Ayah jangan matikan radionya
Aku, ingin tidur bersama alunanya.
Aku sangat bergetar mendengar kabar derita
Nenek sudah lama hilang.
Mungkin sekarang masih sesekali aku terbayang
Tak ada yang abadi mendengar itu
Ayah belum berpindah tempat!
Masih, di samping radio tuanya.
Ibu hampir malam belum pulang-
Adik sudah lelah menari dan lekas tidur sekarang.
Ada tangis yang mengucur lagi rupanya!
Entah dimana aku merakanya?
Ada luka juga nampaknya…
Ayah, Ibu sudah kembali?
Imaji-imaji patah
I
Sebuah hari tanpa cahaya
Aku diam tanpa daya
Hari ini kemana akan terarah.
Kebingungan lelaki tua berdasi darah
II
Anak-anak sudah pulang dari sekolah
Dan lekas tidur dikala senja terseyum manja
III
Malam sunyi tak terarah
Hari ini selesai sebelum aku tertidur
Sebuah jendela yang kemarin terbuka
Belum lama terbakar oleh amarah.
IV
Kabar derita dari Sonya…
Terseyum lama saat tampak di depan kaca
Kaca buram yang terang oleh seyumnya
Sonya berkata:
Biarkan saja kaca itu berkata jujur tentangnya
Dan dengarkan kejujuran yang di ujarnya
Rumah ku kecil
Hanya saja aku bersahabat dengan sebuah derita
Kabar-kabar lalu tak sampai
Karena angin hanya tak bisa keluar dari rumahku
Rumahku yang kecil ini…
Kata Sonya!
Kelak akan ada berita darinya
Esok…
Masih adakah lampu terang?
Masih gelap, Rupanya!
Sesekali percikan api membias
Malam- masih malam, sangat mencekam.
Ketika, kemarin mendengar kata merdeka!
Dari pengeras suara buatan belanda.
Matahari belum saja tiba ayah? Kataku….
Sambil berselimut malam, dengan seragam kebanggaanya.
Yah, sudah hampir hilang bau darah, kini.
kapan perang berakhir?
Entah esok kapan. (Ayah hanya berkata),
Mungkin setelah kita tak lagi menjadi tawanan gelap
Dan ada cahaya yang datang untuk kita semua
Dan kau, akan mencatat cerita ini
Sesudah ayah menutup mata.
Hujan, menetes di bahu!
Aku baru saja beranjak lari dari dekapan malam
Yang saat itu senang menghapiriku
Dengan dongen-dongeng masa lalu
Sudah lama sekali aku berpaling
Di balik bahu yang kaku
Yang sudah seribu hari lamanya
Terkurung di pelataran tanah tua
Tanah yang pertama kali kita namai bersama
Di seberang hati yang terluka, saat kutinggalkan cerita
Aku baru saja beranjak merangkulmu
Dan menari bersama di kota kita
Saat bahu itu menandakan hujan!
Airnya berupa duka
Dan aku terhanyut dengan sendirinya
Dan tak pernah kembali lagi
Sebelum aku berkata
Hanya saja, aku masih menyimpan
Hujan, di bahuku.
Untuk teman yang sudah kembali kepada-Nya