Sabtu, 12 Desember 2009
malam sunyi
aku hanya ingin menikmati malam ini
…
dengan melankolisnya malam sehabis hujan
setitik cinta aku rasakan dalam-dalam -
- bersama waktu yang menjemput mata ku untuk lelap.
Menjelang Pagi.
Yogyakarta, 8 Desember 2009
Kamis, 29 Oktober 2009
Suatu Hari
Rahasia langit menjadi beban
Karena luka surga masih menjadi dosa
Ada kata yang tak biasa.
Tuhan, biarkan aku sengaja termangu
Karena dibenak ku masih ada dosa
Ada kata yang tak biasa, berulangkali?
Tuhan, duduk menatap ku.
Ada derita langit yang ku simpan
Sudah menjadi hutang sebelum akhir zaman
Ada kata yang tak biasa
Sebelum Tuhan menagih semua.
Ada kata yang tak biasa: “Maaf”
Tuhan pasti mengerti
Karena Dia pintar,
Tidak seperti aku dan siapa saja yang mau merangkul ku.
Jakarta, 29 oktober 2009
Selasa, 06 Oktober 2009
Hujan, menetes di bahu! 2
Aku baru saja beranjak
lari dari dekapan malam
Yang senang menghapiriku
Dengan dongeng masa lalu.
Sudah lama sekali aku berpaling
Di balik bahu yang kaku
Yang sudah seribu hari
Terpendam dan hampir jadi debu.
Aku baru saja beranjak merangkulmu, Bukan?
Dan menari bersama di kota ini
Saat bahumu menandakan hujan!
Airnya berupa duka
Dan aku terhanyut dengan sendirinya.
Kau tak pernah kembali lagi
Sebelum aku berkata
Hanya saja, aku masih menyimpan
Hujan, dibahuku.
Untuk teman yang sudah kembali kepada-Nya
Kamis, 17 September 2009
Dera-dera murka
Aku merangkai cerita
Yang kita tulis dengan lara dahaga
Dari sebuah ungkapan : ringan, senang, dan ada sedikit luka.
Belum ada kata yang terucap
Dari bibir kita yang tak cakap
Nafas, tersendat-sendat
Yang kurasa mampat karena murka.
Bila esok tiba
Kemudian ada sisa waktu
Kembalilah dengan senyuman
Dan kemudian berjabat kita di pangkuan: Tuhan!
Lalu, jelang waktu iba menghampiri
Apakah masih ada kita pulang?
Kembali kerumah dengan hangat
Peluk mesra Ayah dan Bunda.
Jakarta, 17 September 2009
Rabu, 02 September 2009
Lirih Hati
Ketika orbit berpindah tempat
Aku masih meratap
Sakit jua kita di dua?
Di sini puncak cinta
Di sini sisi lain terkuak
Kau dan aku
Sudah lama dipadu
Tak begitu juga ia yang sekejap hinggap
Dan kurasa aku menggap-menggap!
Begitu bergejolak di dada
Sesering mungkin aku atur nafas
Sehingga berkurang kadar bara
Aku cemburu dengan angin yang menampar.
Dikala bulan tampak
Aku tulis dan kuingat
Ini sebuah catatan harian
Bila nanti akhir ada.
10 Agustus 2009
Suatu Ketika
Meninggalkan pucat di dada.
Kemudian hari bersolek lagi
Kabut berias asri
Burung berkicau
Daun-daun tak luput menari.
Apakah semua ini hanya mimpi?
Saat malam datang
Dan ketika mata terlalap
Nyata begitu dekat.
Semua buaian kasih sayang
Turun di benak
Menyatu dan merasuk
Ketika rangkaian cerita di isyaratkan
Apakah keindahan hanya milik khayalan?
Kenapa saat terbangun tak sanggup aku meratap?
Di mana kicauan itu?
Di mana dayuan mesra?
Di mana mereka berada?
Tak perlu menyesal
Saat semua terlambat
Lagi-lagi kita kembali merenungkan!
Jumat, 31 Juli 2009
Apa kabar Ibu dan Ayah?
Hanya lagu lirih sahabat ku
Cukup menghibur …
Dari pada air mata mengucur
Berulangkali.
Banyak ku kemas cerita
Dalam koper bekas
Sisa buatan Ayah dan Ibu
Hampir penuh.
Tapi sering kali aku,
Singkirkan yang tak penting
Hanya tuannya yang selalu
Menempati baris pertama.
Tak lain: Senyum Ibu dan Ayah
Aku kenang, kenagan ku
Ayah, Ibu aku rindu
Begitu setiap malam yang ku tempuh
Dalam doa sebelum tidur
Aku harap esok bertemu.
Ode kehidupan.
Dimana letaknya?
Apakah di atas atau di bawah?
Seperti roda yang di putar, kah?
Seperti bola yang menggelinding, kah?
Seperti aku, kau, dan kita semua ini, kah!
Di sinilah, Bumi kita berpijak.
Begitu liku jalan kita
Entah sampai mana, kita melangkah
Di mana titik akhirnya?
Aku tak tahu juga.
Kemarin, kematian begitu menderu
Seperti lomba balap lari
Saling mengejar dan saling beradu cepat
Pilu dan takut aku serta merinding
Kadang bertanya: apakah hidup memang benar selesai kita mati?
Entah?
Semua jawab ada di langit.
Sebuah kisah Cinta Klasik
I
Sebuah kisah cinta hadir
Ketika kabut masih tebal
Dan luka itu?
Masih kusimpan rapat
Di balik tirai hati yang terdalam.
Kita masih ingat?
Kita saling bertemu
Saat perpaduan muara sungai
Bertemu di lautan
Ketika malam itu begitu sunyi
Dan kau tersipu malu.
Malam ini beratap rembulan
Aku mengingat lagi kenangan kita
Sebuah kisah cinta klasik
Saat kita muda!
Saat kita berwarna biru
Seperti muara itu: yang memperpadukan kita
Kau ingat?
Kau ulurkan tangan mu
Kau rayu diriku dengan senyum mu
Dan kita berlabuh juga, akhirnya
Di Dermaga kita
Kita yang sebut itu!
II
Sebuah kisah cinta masih panjang
Seperti yang kau tahu
Sejauh mana kita melangkah bersama
Satu pijakan
Satu tujuan.
Kau ingat cerita itu?
Yang berulang kali, ku bacakan –
Sebelum mata mu terlelap
Sebelum kau ku kecup
Dan sebelumnya ku katakana cinta untukmu.
kisah ini, renyah.
Tak akan pernah berakhir
Itu yang kau bisikan, kan?
Dan hatiku terenyuh
Kita pun bahagia.
Tragedi Cinta
di ranjang bekas Ayah dan Ibu memadu
kita berseru membinasa nafsu
ah.. oh.. ah.. ah…
mata ku berpejam
lidah mu menajam
Kita mainkan tarian lidah
dan berulang kali, mani ku basah!
kita mainkan tarian Indiana
tapan alas, tapan helai
dan kau terangsang
kita beradu tegang.
Kau malu, dan menyebut nama tuhan berkali-kali
membuat birahi di ujung klimaks
kemudian aku tersontak
kita telah berpadu badan
atas benar nama cinta, aku berharap!
Renyah - Perdebatan
Semua sudah menilik
Dan kemudi sedikit patah
Secuil, tapi bisa mematikan
Aku terlalu berani mengambil tindak
Itu adalah respon jiwa
Bukan gegabah!
Karena, matang sudah di kepala
Tinggal bola liar aku gelontorkan
Dengan strategi tentunya.
Lantas esok aku kira mulai pertandingan
Ternyata: Tidak
Harus kembali keladang
Di sengat mentari
Yang melumerkan kringat.
Nanti-nanti ku tunggu batang hidung mu
Tak kunjung datang jua.
Ah… Sialan memang!
Sedikit mengeluh dan hati masih sangat terbakar.
Ini hari kulalui tak begitu berat
Tapi masih menyisah sayat di benak.
Semua lelcon kutelan meredam bara
Agar idak meledak di dalam
Hingga aku hancur nantinya.
Ini, saya kira
Sebuah demokrasi jiwa
Kita bersaing
Tapi tak menelan
Kita bermusuhan tapi tetap damai.
Aku tak berlaga pandai
Tidak seperti dia dan mereka
Di sebuah kumpulan
yang tak berani aku sentuh
mungkin, karena enggan
jelasnya, saya tidak takut.
Aku berani menerjang ombak
Dan berdiri kokoh di lautan
Aku dan mereka
Seperti air dan minyak
Tak mungkin larut
Karena kita bukan se-zat.
Jelas ku, sebelum mereka
Merunduk malu!
Kaliwanglu Wetan, 19 Juli 2009
Kamis, 18 Juni 2009
Bukit malam
Aku tak mengerti?
Mengapa hidup selalu begini!
Kini aku sendiri
Malam pun iri.
Ku tulis lirih
Cerita tangis yang begitu melankolis
Di baliknya sebuah wajah yang bergumam
Aku tak sendiri.
Malam pun iri
kita menyendiri
begitu intim menyambut kabut
berpeluk mesra di bawah selimut
yang ku sebut hangat mentari.
Malam ini memang siapa yang punya?
tak rela aku melepasnya
indah sekali,
kesendirinya,
kesunyiannya,
hembusannya,
tak luput juga aku merajuk, padamu.
Dekap erat sayang
malam bertabur bintang
sedang menari, dengan riang.
Sekali lagi tak lengkang waktu berpisah
aku semakin tak bisa berpisah
malam begitu intim
di puncak bukit berkabut: aku merenggut.
Sayang, malam iri dengan manusia
Kita yang tak pernah lupa
selalu berpegang erat
menatap jauh
sedikit bersiul
kemudian kita pasti kembali.
Siapa kita, mungkin ini adanya!
Siapa kita, mungkin tangan yang menggenggam erat.
Siapa kita, mungkin dayu-dayu lagu kita.
Siapa kita, yang berdiri berdekap mesra?
Senyum merupakan sebuah impian
akhiri ini dengan senyum abadi
Sayang, malam akan kita lewati!
Jakarta, memoriam yang indah
masih terlalu biru
we’re all in the dance
begitulah lagu yang ku putar
begitu syahdu mengiringi perjalanan ku,
hari itu.
Malam ini lagi ku ulangi sekian kali
mengudara hati terbuai
masih biru juga rupanya!
Baunya saja masih berwarna
kata Fiest.
La Meme Histoire
begitu yang ku ingin
begitu riang
tak ada rintangan
tenang
tenang
semua bernyanyi dengan gayanya.
Terlalu indah kenangan perjalanan ku
Jakarta, memoriam yang indah
Kenangan kemarin di kota Jakarta
masih terlalu biru
we’re all in the dance
begitulah lagu yang ku putar
begitu syahdu mengiringi perjalanan ku,
hari itu.
Malam ini lagi ku ulangi sekian kali
mengudara hati terbuai
masih biru juga rupanya!
Baunya saja masih berwarna
kata Fiest.
La Meme Histoire
begitu yang ku ingin
begitu riang
tak ada rintangan
tenang
tenang
semua bernyanyi dengan gayanya.
Terlalu indah kenangan perjalanan ku
Rabu, 10 Juni 2009
Derita
Siapa yang meratap itu?
Entah tak tahu Aku?
Suaranya begitu pilu, Deritakah Dia?
Bersorak-sorak Ia diatas tebing muram.
Siapa derita, Siapa Tahu!
Kemudian hari begitu saja tenggelam-
Belum sempat dicatat.
Mari-mari ulangi lagi Besok?
Harus derita lagi: Aku bertanya?
Ibunda, masih mengais duka
Tempat yang sama kita pijak
Derita kapan selesai?
Sering kali ku harapi,
Hingga kering samudra di dalam hati.
Tuhan sudah berkali, ku negosiasi!
Berikan Dia sedikit hujan di hati-
Biar tak begitu kering, sudah!
Dia tak perlu hari mengulang derita.
KepadaNya-lah kita harus menyerah-pasrah
Sampai darah-darah mengalir sesuai arah,
Begitu juga derita: tidak senang lagi hinggap di raga.
Ibunda, suatu ketika
Kita merdeka, ya….
Jakarta, 25 Mei 2009
Mimpi Kota
Semua berlalu-lalang
Tak terhitung
: merapat semakin sempit
pandang sudah merekat-
kemudi tak begitu lengang, lagi!
Sesak mata tak lagi mengap
Ku kira sudah terperangkap
Sungguh!
Semua masih berlalu
Entah kapan melalang?
Rindu menjadi murka-
Mati terasa tak nyaman!
Fatamorgana di setiap hari
Asap kebul....
Menjadi warna yang khas
Mimpi kota-
Begitu hilang saja di kepala
Senin, 25 Mei 2009
Minggu, 24 Mei 2009
Sebuah tangis, sebuah luka
Banyak yang ku dengar
Dari radio tua milik ayah
Ada tangis kala itu
Ada luka saat itu
Sebelum kembali aku terbaring juga
Ayah jangan matikan radionya
Aku, ingin tidur bersama alunanya.
Aku sangat bergetar mendengar kabar derita
Nenek sudah lama hilang.
Mungkin sekarang masih sesekali aku terbayang
Tak ada yang abadi mendengar itu
Ayah belum berpindah tempat!
Masih, di samping radio tuanya.
Ibu hampir malam belum pulang-
Adik sudah lelah menari dan lekas tidur sekarang.
Ada tangis yang mengucur lagi rupanya!
Entah dimana aku merakanya?
Ada luka juga nampaknya…
Ayah, Ibu sudah kembali?
Imaji-imaji patah
I
Sebuah hari tanpa cahaya
Aku diam tanpa daya
Hari ini kemana akan terarah.
Kebingungan lelaki tua berdasi darah
II
Anak-anak sudah pulang dari sekolah
Dan lekas tidur dikala senja terseyum manja
III
Malam sunyi tak terarah
Hari ini selesai sebelum aku tertidur
Sebuah jendela yang kemarin terbuka
Belum lama terbakar oleh amarah.
IV
Kabar derita dari Sonya…
Terseyum lama saat tampak di depan kaca
Kaca buram yang terang oleh seyumnya
Sonya berkata:
Biarkan saja kaca itu berkata jujur tentangnya
Dan dengarkan kejujuran yang di ujarnya
Rumah ku kecil
Hanya saja aku bersahabat dengan sebuah derita
Kabar-kabar lalu tak sampai
Karena angin hanya tak bisa keluar dari rumahku
Rumahku yang kecil ini…
Kata Sonya!
Kelak akan ada berita darinya
Esok…
Masih adakah lampu terang?
Masih gelap, Rupanya!
Sesekali percikan api membias
Malam- masih malam, sangat mencekam.
Ketika, kemarin mendengar kata merdeka!
Dari pengeras suara buatan belanda.
Matahari belum saja tiba ayah? Kataku….
Sambil berselimut malam, dengan seragam kebanggaanya.
Yah, sudah hampir hilang bau darah, kini.
kapan perang berakhir?
Entah esok kapan. (Ayah hanya berkata),
Mungkin setelah kita tak lagi menjadi tawanan gelap
Dan ada cahaya yang datang untuk kita semua
Dan kau, akan mencatat cerita ini
Sesudah ayah menutup mata.
Hujan, menetes di bahu!
Aku baru saja beranjak lari dari dekapan malam
Yang saat itu senang menghapiriku
Dengan dongen-dongeng masa lalu
Sudah lama sekali aku berpaling
Di balik bahu yang kaku
Yang sudah seribu hari lamanya
Terkurung di pelataran tanah tua
Tanah yang pertama kali kita namai bersama
Di seberang hati yang terluka, saat kutinggalkan cerita
Aku baru saja beranjak merangkulmu
Dan menari bersama di kota kita
Saat bahu itu menandakan hujan!
Airnya berupa duka
Dan aku terhanyut dengan sendirinya
Dan tak pernah kembali lagi
Sebelum aku berkata
Hanya saja, aku masih menyimpan
Hujan, di bahuku.
Untuk teman yang sudah kembali kepada-Nya