Kamis, 18 Juni 2009

Bukit malam

Siapa kita, siapa dia
Aku tak mengerti?
Mengapa hidup selalu begini!
Kini aku sendiri
Malam pun iri.

Ku tulis lirih
Cerita tangis yang begitu melankolis
Di baliknya sebuah wajah yang bergumam
Aku tak sendiri.

Malam pun iri
kita menyendiri
begitu intim menyambut kabut
berpeluk mesra di bawah selimut
yang ku sebut hangat mentari.

Malam ini memang siapa yang punya?
tak rela aku melepasnya
indah sekali,
kesendirinya,
kesunyiannya,
hembusannya,
tak luput juga aku merajuk, padamu.

Dekap erat sayang
malam bertabur bintang
sedang menari, dengan riang.

Sekali lagi tak lengkang waktu berpisah
aku semakin tak bisa berpisah
malam begitu intim
di puncak bukit berkabut: aku merenggut.
Sayang, malam iri dengan manusia

Kita yang tak pernah lupa
selalu berpegang erat
menatap jauh
sedikit bersiul
kemudian kita pasti kembali.

Siapa kita, mungkin ini adanya!
Siapa kita, mungkin tangan yang menggenggam erat.
Siapa kita, mungkin dayu-dayu lagu kita.
Siapa kita, yang berdiri berdekap mesra?

Senyum merupakan sebuah impian
akhiri ini dengan senyum abadi
Sayang, malam akan kita lewati!

Jakarta, memoriam yang indah

Kenangan kemarin di kota Jakarta
masih terlalu biru
we’re all in the dance
begitulah lagu yang ku putar
begitu syahdu mengiringi perjalanan ku,
hari itu.

Malam ini lagi ku ulangi sekian kali
mengudara hati terbuai
masih biru juga rupanya!
Baunya saja masih berwarna
kata Fiest.

La Meme Histoire
begitu yang ku ingin
begitu riang
tak ada rintangan
tenang
tenang
semua bernyanyi dengan gayanya.

Terlalu indah kenangan perjalanan ku
Jakarta, memoriam yang indah

Kenangan kemarin di kota Jakarta
masih terlalu biru
we’re all in the dance
begitulah lagu yang ku putar
begitu syahdu mengiringi perjalanan ku,
hari itu.

Malam ini lagi ku ulangi sekian kali
mengudara hati terbuai
masih biru juga rupanya!
Baunya saja masih berwarna
kata Fiest.

La Meme Histoire
begitu yang ku ingin
begitu riang
tak ada rintangan
tenang
tenang
semua bernyanyi dengan gayanya.

Terlalu indah kenangan perjalanan ku

Rabu, 10 Juni 2009

Derita

Siapa yang meratap itu?

Entah tak tahu Aku?

Suaranya begitu pilu, Deritakah Dia?


Bersorak-sorak Ia diatas tebing muram.

Siapa derita, Siapa Tahu!

Kemudian hari begitu saja tenggelam-

Belum sempat dicatat.


Mari-mari ulangi lagi Besok?

Harus derita lagi: Aku bertanya?


Ibunda, masih mengais duka

Tempat yang sama kita pijak

Derita kapan selesai?

Sering kali ku harapi,

Hingga kering samudra di dalam hati.


Tuhan sudah berkali, ku negosiasi!

Berikan Dia sedikit hujan di hati-

Biar tak begitu kering, sudah!


Dia tak perlu hari mengulang derita.

KepadaNya-lah kita harus menyerah-pasrah

Sampai darah-darah mengalir sesuai arah,

Begitu juga derita: tidak senang lagi hinggap di raga.


Ibunda, suatu ketika

Kita merdeka, ya….


Jakarta, 25 Mei 2009


Mimpi Kota

Semua berlalu-lalang

Tak terhitung

: merapat semakin sempit

pandang sudah merekat-


kemudi tak begitu lengang, lagi!

Sesak mata tak lagi mengap

Ku kira sudah terperangkap

Sungguh!


Semua masih berlalu

Entah kapan melalang?


Rindu menjadi murka-

Mati terasa tak nyaman!


Fatamorgana di setiap hari

Asap kebul....

Menjadi warna yang khas

Mimpi kota-

Begitu hilang saja di kepala