Jumat, 31 Juli 2009

Apa kabar Ibu dan Ayah?

Ini kalinya aku merasa sepi
Hanya lagu lirih sahabat ku
Cukup menghibur …
Dari pada air mata mengucur
Berulangkali.

Banyak ku kemas cerita
Dalam koper bekas
Sisa buatan Ayah dan Ibu
Hampir penuh.

Tapi sering kali aku,
Singkirkan yang tak penting
Hanya tuannya yang selalu
Menempati baris pertama.

Tak lain: Senyum Ibu dan Ayah
Aku kenang, kenagan ku
Ayah, Ibu aku rindu
Begitu setiap malam yang ku tempuh
Dalam doa sebelum tidur
Aku harap esok bertemu.

Ode kehidupan.

Ini kehidupan namanya
Dimana letaknya?
Apakah di atas atau di bawah?
Seperti roda yang di putar, kah?
Seperti bola yang menggelinding, kah?
Seperti aku, kau, dan kita semua ini, kah!
Di sinilah, Bumi kita berpijak.

Begitu liku jalan kita
Entah sampai mana, kita melangkah
Di mana titik akhirnya?
Aku tak tahu juga.

Kemarin, kematian begitu menderu
Seperti lomba balap lari
Saling mengejar dan saling beradu cepat
Pilu dan takut aku serta merinding
Kadang bertanya: apakah hidup memang benar selesai kita mati?
Entah?
Semua jawab ada di langit.

Sebuah kisah Cinta Klasik

Untuk Varatisha Anjani A.

I

Sebuah kisah cinta hadir
Ketika kabut masih tebal
Dan luka itu?
Masih kusimpan rapat
Di balik tirai hati yang terdalam.

Kita masih ingat?
Kita saling bertemu
Saat perpaduan muara sungai
Bertemu di lautan
Ketika malam itu begitu sunyi
Dan kau tersipu malu.

Malam ini beratap rembulan
Aku mengingat lagi kenangan kita
Sebuah kisah cinta klasik
Saat kita muda!
Saat kita berwarna biru
Seperti muara itu: yang memperpadukan kita

Kau ingat?
Kau ulurkan tangan mu
Kau rayu diriku dengan senyum mu
Dan kita berlabuh juga, akhirnya
Di Dermaga kita
Kita yang sebut itu!

II

Sebuah kisah cinta masih panjang
Seperti yang kau tahu
Sejauh mana kita melangkah bersama
Satu pijakan
Satu tujuan.

Kau ingat cerita itu?
Yang berulang kali, ku bacakan –
Sebelum mata mu terlelap
Sebelum kau ku kecup
Dan sebelumnya ku katakana cinta untukmu.

kisah ini, renyah.
Tak akan pernah berakhir
Itu yang kau bisikan, kan?
Dan hatiku terenyuh
Kita pun bahagia.

Tragedi Cinta

Kini kita telah berpadu
di ranjang bekas Ayah dan Ibu memadu
kita berseru membinasa nafsu
ah.. oh.. ah.. ah…
mata ku berpejam
lidah mu menajam

Kita mainkan tarian lidah
dan berulang kali, mani ku basah!

kita mainkan tarian Indiana
tapan alas, tapan helai
dan kau terangsang
kita beradu tegang.

Kau malu, dan menyebut nama tuhan berkali-kali
membuat birahi di ujung klimaks
kemudian aku tersontak
kita telah berpadu badan
atas benar nama cinta, aku berharap!

Renyah - Perdebatan

Kendali-kendali aku rengkuh
Semua sudah menilik
Dan kemudi sedikit patah
Secuil, tapi bisa mematikan

Aku terlalu berani mengambil tindak
Itu adalah respon jiwa
Bukan gegabah!
Karena, matang sudah di kepala
Tinggal bola liar aku gelontorkan
Dengan strategi tentunya.

Lantas esok aku kira mulai pertandingan
Ternyata: Tidak
Harus kembali keladang
Di sengat mentari
Yang melumerkan kringat.

Nanti-nanti ku tunggu batang hidung mu
Tak kunjung datang jua.
Ah… Sialan memang!
Sedikit mengeluh dan hati masih sangat terbakar.

Ini hari kulalui tak begitu berat
Tapi masih menyisah sayat di benak.
Semua lelcon kutelan meredam bara
Agar idak meledak di dalam
Hingga aku hancur nantinya.

Ini, saya kira
Sebuah demokrasi jiwa
Kita bersaing
Tapi tak menelan
Kita bermusuhan tapi tetap damai.

Aku tak berlaga pandai
Tidak seperti dia dan mereka
Di sebuah kumpulan
yang tak berani aku sentuh
mungkin, karena enggan
jelasnya, saya tidak takut.

Aku berani menerjang ombak
Dan berdiri kokoh di lautan

Aku dan mereka
Seperti air dan minyak
Tak mungkin larut
Karena kita bukan se-zat.
Jelas ku, sebelum mereka
Merunduk malu!

Kaliwanglu Wetan, 19 Juli 2009