Minggu, 24 Mei 2009

Sebuah tangis, sebuah luka

Banyak yang ku dengar

Dari radio tua milik ayah

Ada tangis kala itu

Ada luka saat itu

Sebelum kembali aku terbaring juga

Ayah jangan matikan radionya

Aku, ingin tidur bersama alunanya.

Aku sangat bergetar mendengar kabar derita 

Nenek sudah lama hilang.

Mungkin sekarang masih sesekali aku terbayang

Tak ada yang abadi mendengar itu

Ayah belum berpindah tempat!

Masih, di samping radio tuanya.

Ibu hampir malam belum pulang-

Adik sudah lelah menari  dan lekas tidur sekarang.

Ada tangis yang mengucur lagi rupanya!

Entah dimana aku merakanya?

Ada luka juga nampaknya…

Ayah, Ibu sudah kembali?

Imaji-imaji patah

I

Sebuah hari tanpa cahaya

Aku diam tanpa daya

Hari ini kemana akan terarah.


Kebingungan lelaki tua berdasi darah


II

Anak-anak sudah pulang dari sekolah 

Dan lekas tidur dikala senja terseyum manja


III

Malam sunyi tak terarah

Hari ini selesai sebelum aku tertidur

Sebuah jendela yang kemarin terbuka

Belum lama terbakar oleh amarah.


IV

Kabar derita dari Sonya…

Terseyum lama saat tampak di depan kaca

Kaca buram yang terang oleh seyumnya

Sonya berkata: 

Biarkan saja kaca itu berkata jujur tentangnya

Dan dengarkan kejujuran yang di ujarnya

Rumah ku kecil 

Hanya saja aku bersahabat dengan sebuah derita 

Kabar-kabar lalu tak sampai 

Karena angin hanya tak bisa keluar dari rumahku

Rumahku yang kecil ini…

Kata Sonya!

Kelak akan ada berita darinya 

Esok…




Masih adakah lampu terang?

Masih gelap, Rupanya!

Sesekali percikan api membias

Malam- masih malam, sangat mencekam.

Ketika, kemarin mendengar kata merdeka!

Dari pengeras suara buatan belanda.

Matahari belum saja tiba ayah? Kataku….

Sambil berselimut malam, dengan seragam kebanggaanya.

Yah, sudah hampir hilang bau darah, kini.

kapan perang berakhir?

Entah esok kapan. (Ayah hanya berkata),

Mungkin setelah kita tak lagi menjadi tawanan gelap

Dan ada cahaya yang datang untuk kita semua

Dan kau, akan mencatat cerita ini

Sesudah ayah menutup mata.

Hujan, menetes di bahu!

Aku baru saja beranjak lari dari dekapan malam

Yang saat itu senang menghapiriku

Dengan dongen-dongeng masa lalu

Sudah lama sekali aku berpaling

Di balik bahu yang kaku

Yang sudah seribu hari lamanya

Terkurung di pelataran tanah tua

Tanah yang pertama kali kita namai bersama

Di seberang hati yang terluka, saat kutinggalkan cerita

Aku baru saja beranjak merangkulmu

Dan  menari bersama di kota kita

Saat bahu itu menandakan hujan!

 

Airnya berupa duka

Dan aku terhanyut dengan sendirinya

Dan tak pernah kembali lagi

Sebelum aku berkata

 

Hanya saja, aku masih menyimpan

Hujan, di bahuku.

 

 

 

Untuk teman yang sudah kembali kepada-Nya

Tentara Banci

Diam!

Musuh sudah tiba.

Tapi, bung?

Diam!

Perdebatan

Untuk sekali ini Aku bernegosiasi,

                        Tapi, tidak esok.

: Berpijak pun, Aku enggan!